ABU
BAKAR MUHAMMAD IBNU ZAKARIA AL-RAZI
A. Biografi
Ar-Razi
Al
Razi adalah seorang filosof muslim kedua setelah al-Kindi, nama lengkapnya
adalah Abu Bakar Muhammad Ibnu Zakaria Ibnu Yahya Al-razi. Dalam wacana
keilmuan barat dikenal dengan sebutan Rhazes. Ia dilahirkan di sebuah kota
bernama Razy, kota tua yang dahulunya bernama Rhogee, dekat Teheran, Republik
Islam Iran. Ia lahir pada tanggal 1 Sya’ban 251 M/865 M. Beliau wafat pada
Tahun 925 M[1].
Pada
masa mudanya, ia menjadi tukang intan dan suka pada musik (kecapi). Ia cukup
respek terhadap ilmu kimia, sehingga tidak mengherankan apabila kedua matanya
buta akibat dari eksperimen yang dilakukannya. Namun, para sarjana berpendapat
bahawa al-Razi mengalami sakit mata dan kemudiannya buta pada penghujung hayat-nya.
Al-Razi menderita akibat ketekunannya menulis dan membaca yang terlalu banyak.
Ia juga belajar ilmu kedoktoran (obat-obatan) dengan sangat tekun pada seorang
dokter dan filosof yang lahir di Merv pada Tahun 192 H/808 M yang bernama Ali
Ibnu Robban al-Thabari. Kemungkinan guru ini pula yang menumbuhkan minat
al-Razi untuk bergulat dengan filsafat agama, karena ayah guru tersebut adalah
seorang pendeta Yahudi yang ahli dalam kitab-kitab suci[2].
Walaupun
pada akhirnya beliau dikenal sebagai ahli pengobatan seperti Ibnu Sina, pada
awalnya al-Razi adalah seorang ahli kimia. Menurut sebuah riwayat yang dikutip
oleh Nasr (1968), al-Razi meninggalkan dunia kimia karena penglihatannya mulai
kabur akibat eksperimen-eksperimen kimia yang meletihkannya dan dengan bekal
ilmu kimianya yang luas lalu menekuni dunia medis kedokteran, yang rupanya
menarik minatnya pada waktu mudanya. Ia mengatakan bahwa seorang pasien yang
telah sembuh dari penyakitnya adalah disebabkan oleh respon reaksi kimia yang
terdapat di dalam tubuh pasien tersebut. Dalam waktu yang relatif cepat, ia
mendirikan rumah sakit di Rayy, salah satu rumah sakit yang terkenal sebagai
pusat penelitian dan pendidikan medis. Selang beberapa waktu kemudian, ia juga
dipercaya untuk memimpin rumah sakit di Baghdad.
Menurut
informasi sejarah yang dikemukakan oleh Al-Qifti dan Usaibi’ah sulit dipercaya.
Menurutnya al-Razi berguru kepada Ali Ibnu Rabban al-Thabari, seorang dokter
dan filosof. Padahal Al-Razi lahir sepuluh tahun setelah Ali Ibnu Rabban
al-Thabari meninggal dunia. Menurut al-Nadim yang benar adalah al-Razi belajar
filsafat kepada al-Balkhi, menguasai filsafat dan ilmu-ilmu kuno.
Disiplin
ilmu al-Razi meliputi ilmu falak, matematika, kimia, kedokteran, dan filsafat.
Ia lebih terkenal sebagai ahli kimia dan ahli kedokteran dibanding sebagai
filosof. Ia sangat rajin menulis dan membaca, agaknya inilah yang menyebabkan
penglihatannya berangsur-angsur melemah dan akhirnya buta total. Akan tetapi,
ia menolak untuk diobati dengan mengatakan pengobatan akan sia-sia belaka
karena sebentar lagi ia akan meninggal[3].
Di
kala itu, ilmu pengetahuan yang dimiliki al-Razi sangatlah banyak sehingga
banyak orang-orang yang belajar kepadanya. Ini terlihat dengan metode
penyampaian pemikirannya berbentuk sistem pengembangan daya intelektual (sistem
diskusi). Apabila ada seorang murid yang bertanya maka pertanyaan itu tidak
langsung dijawabnya melainkan dilempar kembali kepada murid-murid lainnya yang
terbagi beberapa kelompok. Apabila kelompok pertama tidak dapat menjawab maka
pertanyaan dilempar pada kelompok kedua, dan seterusnya. Ketika semuanya tidak
dapat menjawab ataupun ada yang menjawab tetapi jawabannya kurang benar,
barulah al-Razi yang memebrikan jawaban atas pertanyaan tersebut.
B.
Karya-
karya Al Razi
Buku-buku
Al Razi sangat banyak. Dia sendiri mempersiapkan katalog untuk buku-buku yang
ditulisnya, dan kemudian diproduksi oleh Ibn Al Nadim. Yang kita temukan: 118
buku, 19 surat, 4 buku, 6 surat, dan satu maqalah, jumlah seluruhnya 148 buah.
Setelah Ibn Nadim, Al Biruni menulis bibliografi Al Razi. Tulisan ini ditemukan
di sebuah naskah unik di Leiden, yang disunting oleh Paul Kraus, dan
diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman oleh J. Ruska dalam artikelnya Al Biruni
als Quelle fur das Leben und die Suchriften al Razi’s. Katalog ini didahului
dengan catatan singkat tentang kehidupan Al Razi. Buku-buku tersebut
dikelompokkan sebagai berikut:
1. Tentang
ilmu kedokteran
2. Ilmu
fisika
3. Logika
4. Matematika
dan astronomi
5. Komentar,
ringkasan dan ikhtisar
6. Filsafat
dan ilmu pengetahuan hipotesis
7. Metafisika
8. Teologi
9. Alkimia
10. Tentang
atheism
11. Campuran[4].
Adapun buku-bukunya
mengenai filsafat antara lain:
1. Al-Tibb
al-Ruhani (British Museum, Add. Or. 25758 ; Vat. Ar. 182 Kairo 2241 Tas).
2. Al-Shirat
al-falsafiyyah (Brit. Mus. Add. Or. 7473).
3. Amarat
Iqbal al-Daulah (Raghib 1463, ff. 98a-99b, Istambul).
4. Kitab
al-Ladzdzah.
5. Al-Ilm
al-Ilahi[5].
C.
Pemikiran Ar Razi
Filsafat Lima Kekal (metafisika)
Filsafat
al-Razi yang paling terkenal dengan ajarannya yang dinamakan Lima yang Kekal,
yakni:
1. Allah
Ta’ala ( الباري تعالى )
Menurut Ar Razi, Allah adalah Maha
Pencipta dan Pengatur seluruh alam ini. Alam diciptakan bukan dari ketiadaan
tetapi dari sesuatu yang sudah ada. Karenanya, alam semestinya tidak kekal
sekalipun materi pertama (Allah) kekal, sebab penciptaan di sini dalam arti
disusun dari bahan yang telah ada. Di sisi lain, jika Allah menciptakan alam
dari ketiadaan, tentu Allah akan menciptakan segala sesuatu dari yang tidak
ada. Namun kenyataannya, penciptaan seperti itu adalah suatu hal yang tidak
mungkin.
2. Jiwa
universal ( النفس الكلية )
Pada benda-benda alam terdapat daya
hidup dan gerak tetapi tanpa bentuk. Dalam hal ini, jiwa adalah roh, zat yang
halus seperti udara, sehingga sulit untuk diketahui karena ia tanpa bentuk dan
rupa.
3. Materi pertama ( الهيولى الأولى )
Adalah substansi yang kekal terdiri dari
atom-atom. Setiap atom memiliki volume. Tanpa volume pengumpulan atom-atom
tidak bisa menjadi suatu yang berbentuk. Bila dunia dihancurkan maka ia juga
terpisah-pisah dalam bentuk atom-atom.materi pertama ini sangat erat kaitannya
dengan jiwa universal (roh). Roh dikuasai naluri untuk bersatu dengan materi
pertama sehingga timbullah suatu bentuk yang dapat menerima fisik. Karena
itulah Allah menciptakan alam semesta termasuk tubuh manusia agar bisa ditempati
roh.
4. Tempat
ruang absolut ( المكان المطلق )
Adanya materi kekal maka membutuhkan
ruang yang sesuai untuknya. Ruang dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu
pertama, ruang partikular/relatif, ia terbatas dan terikat dengan wujud yang
menempatinya. Kedua, ruang universal/mutlak, ia tidak terikat dengan segala
sesuatu yang ada dan tidak terbatas.
5. Masa
absolut ( الزمان المطلق )
Waktu adalah substansi yang mengalir dan
bersifat kekal. Ar Razi membaginya menjadi 2 bagian, yaitu pertama, waktu
mutlak, ia tidak memiliki awal dan akhir serta bersifat universal. Ia terlepas
sama sekali dari alam semesta dan gerakan falaq. Kedua, waktu relatif, ia tidak
kekal dan terbatas karena terikat dengan gerakan falaq, terbit dan tengelamnya
matahari. Ringkasnya, karena ia disifati dengan angka dan dapat diukur[6].
Filsafat Tentang Roh dan Materi
Mengenai filsafat tentang jiwa (ruh),
bermula dari sebuah pertanyaan yang timbul dari buah pikiran al-Razi, yakni,
sebuah pertanyaan tentang keabadian lain, setelah kematian? Keabadian lain itu
adalah ruh yang akan selalu hidup, tetapi ruh bodoh. Materi juga kekal, karena
kebodohannya ruh mencintai materi dan membuat banyak dirinya untuk memperoleh
kebahagiaan materi. Tetapi materi menolak, akhirnya Tuhan ikut campur untuk
membantu ruh. Dijadikan lapisan dari ruh, yakni sebuah jasad yang beragam
macam. Kemudian Tuhan menciptakan sebuah jasad yang sempurna, itulah
manusia yang berguna untuk menggerakkan
aktifitas di dunia ini.
Dalam filsafatnya mengenai hubungan
manusia denganTuhan, ia dekat kepada filsafat Pythagoras, yang memandang
kesenangan manusia sebenarnya ialah kembali kepada Tuhan dengan meninggalkan
alam materi ini. Untuk kembali ke Tuhan, maka roh harus lebih dahulu disucikan
dan yang dapat menyucikan roh adalah
ilmu pengetahuan dan membuat pantangan dalam mmengerjakan beberapa hal tanpa
dasar ilmu. Menurut al-Razi jalan mensucikan roh adalah falsafat. Manusia harus
menjauhi kesenangan yang dapat diperoleh hanya dengan menyakiti orang lain atau
yang bertentangan dengan rasio. Tetapi sebaliknya, manusia jangan pula sampai
tidak makan atau berpakaian, tetapi makanlah dan berpakaian sekedar untuk
memelihara diri[7].
Sungguhpun materi pertama kekal,
alam tidak kekal. Alam diciptakan Tuhan, bukan dalam arti creatio ex nihilio
(penciptaan dari tidak ada), tetapi dalam arti di susun dari bahan yang
telah ada. Menurut al-Razi, Tuhan pada mulanya tidak beniat membuat alam ini.
Tetapi pada suatu ketika, keabadian yang lain yaitu roh tertarik dan mencintai
materi pertama, bemain dengan materi pertama itu, tetapi materi pertama
berontak. Tuhan menolong roh dengan membentuk alam ini dalam susunan yang kuat
sehingga roh dapat mencari kesenangan materi didalamnya.
Tuhan tahu bahwa pengikatan ini
merupakan sebab kejahatan, tetapi setelah hal itu terjadi, Tuhan mengarahkan ke
jalan yang yang sebaik mungkin. Akan tetapi beberapa kejahatan tetap ada;
sumber seluruh kejahatan, susunan roh dan materi ini sepenuhnya tak dapat di
murnikan.
Tuhan mewujudakan manusia dan di
dalamnya mengambil tempat. Terikat pada materi, roh lupa pada asalnya dan lupa
bahwa kesenangannya yang sebenarnya bukan terletak dalam persatuan dengan
materi tetapi dalam melepaskan diri dari materi. Oleh karena itu mewujudkan
akal, yang berasal dari zat Tuhan sendiri. Tugas akal ialah untuk menyadarkan
manusia yang telah terpedaya oleh kesenangan materi, bahwa alam materi ini
bukanlah alam yang sebenarnya. Alam yang sebenarnya dan kesenangan sebenarnya
berada di luar alam materi dan alam itu dapat di capai hanya dengan falsafat.
Roh akan tetap tinggal di alam materi ini, selama ia tidak dapat menyucikan
diri dengan falsafat. Apakah dalam bentu reingkarnasi atau dalam bentuk pindah
dari suatu planet ke planet yang lain, seperti pendapat alkindi, tidak jelas.
Tetapi kalau seluruh roh sudah bersih, seluruhnya akan kembali ke alam asalnya.
Pada ketika itu alam materi akan hancur, dan roh dan materi kembali ke asalnya
semula. Alam ini adalah terbatas dan hanya satu, dan di luar alam terdapat
tuhan[8].
Filsafatnya Tentang Rasio dan Agama
Harun Nasution dalam bukunya falsafat
mistisisme dalam Islam diungkapkan bahwa; Al-Razi adalah seorang rasionalis
yang hanya percaya pada kekuatan akal dan tidak percaya pada wahyu dan
nabi-nabi. Ia berkeyakinan bahwa akal manusia kuat untuk mengetahui apa yang baik
serta apa yang buruk, untuk tahu pada Tuhan dan untuk mengatur hidup manusia di
dunia ini. Manusia terlahir pada dasarnya telah dibekali akan sebuah potensi
daya berpikir yang sungguh sama besarnya, dan perbedaan itu timbul karena berlainan pendidikan dan berlainan
suasana perkembangannya. Ia tidak percaya dengan para Nabi karena dia
menganggap para Nabi membawa tradisi berupa upacara-upacara yang mempengaruhi
jiwa rakyat yang pikirannya sederhana. Ia juga berani menganggap bahwa
al-Qur’an bukan mukjizat. Tetapi yang diutamakan baginya adalah buku-buku
falsafat dan ilmu pengetahuan daripada buku-buku agama. Walaupun ia menentang
agama pada umumnya, ia bukanlah seorang ateis, akan tetapi ia seorang monoteis
yang percaya pada adanya Tuhan sebagai pengatur alam[9].
Dalam hal ini, Badawi menerangkan
alasan-alasan al-Razi dalam menolak kenabian, adapun alasan-alasannya antara
lain: pertama, akal sudah memadai untuk membedakan antara yang baik dan yang
jahat, yang berguna dan tidak berguna. Hanya dengan akal semata, manusia mampu
mengetahui Allah yang mengatur kehidupan dengan sebaik-baiknya. Kedua, tidak
ada alasan yang kuat bagi pengistimewaan beberapa orang untuk membimbing semua
orang karena semua orang lahir dengan kecerdasan yang sama. Perbedaan manusia bukan
karena pembawaan alamiah, tetapi karena pengembangan dan pendidikan. Ketiga,
para Nabi saling bertentangan. Pertentangan tersebut seharusnya tidak ada jika
mereka berbicara atas nama satu Allah[10].
Sebagai bukti sikap Rasionalis yang
dimiliki oleh al-Razi terhadap akal, terlihat dalam bukunya Ath-Thibb
Ar-Ruhani. Dalam Kitab tersebut, ia mengatakan:
”Tuhan,
segala puji bagi-Nya, yang telah memberi kita akal agar dengannya, kita
memperoleh sebanyak-banyak manfa’at. Inilah karunia terbaik Tuhan kepada kita.
Dengan akal, kita melihat segala yang
berguna bagi kita dan yang membuat hidup kita baik, dengan akal kita dapat
mengetahui yang gelap, yang jauh, dan yang tersembunyi dari kita. Dengan akal
pula, kita dapat memperoleh pengetahuan tentang Tuhan, suatu pengetahuan tertinggi
yang dapat kita peroleh, jika akal sedemikian mulia dan penting; kita tidak
boleh melecehkannya, kita tidak boleh menentukannya, sebab ia adalah penentu,
atau kita tidak boleh mengendalikannya, sebab ia adalah pengendali, atau
memerintahnya, sebab ia adalah pemerintah. Tetapi kita harus merujuk kepadanya
dalam segala hal dan menentukan segala masalah dengannya, kita harus sesuai
dengan perintahnya"[11].
Pernyataan al-Razi merupakan suatu
ungkapkan keagungannya terhadap akal. Al-Razi memang menentang kenabian wahyu
dan kecendrungan irrasional. Segalanya harus masuk akal ilmiah dan logis.
Sehingga akal sebagai kriteria prima dalam pengetahuan dan prilaku. Perbedaan
manusia adalah disebabkan oleh berbedanyan pemupukan akal karena ada yang memperhatikan
hal tersebut dan ada yang tidak memperhatikannya, baik dalam segi teoritis maupun
yang bersifat praktis[12].
Fenomena yang terjadi, bahwa al-Razi
adalah seorang yang selalu mengagungkan akal, ini terbantah karena pendapat
demikian adalah sebuah tuduhan-tuduhan yang diberikan kepadanya dari
lawan-lawan debatnya. Hal seperti ini lumrah terjadi karena untuk kepentingan
politik semata yang kalah tetapi tidak sadar diri. Dalam bukunya al- Thibb
al-Ruhani tidak ditemukan keterangan bahwa al-Razi mengingkari kenabian ataupun
agama, namun sebaliknya ia mewajibkan untuk menghormati agama dan berpegang
teguh kepada agama, karena dengan agama akan mendapatkan kenikmatan di akhirat
berupa surga dan mendapatkan keuntungan berupa ridha Allah. Dalam buku tersebut
ia mengatakan:
”Mengendalikan
hawa nafsu adalah wajib menurut rasio, menurut semua orang berakal dan menurut
semua agama dan wajiblah manusia yang baik, Manusia yang utama dan yang
melaksanakan syari’ah secara sempurna, tidak perlu takut terhadap kematian. Hal
ini disebabkan syari’ah telah menjanjikan kemenangan dan kelapangan serta
(menjanjikan) bisa mencapai kenikmatan abadi.
Selain itu, al-Razi juga mengakui
kenabian sebagaimana ia nyatakan dengan sebuah kata ”Semoga Allah melimpahkan
Shalawat kepada ciptaan-Nya yang terbaik, Nabi Muhammad dan keluarganya dan
semoga Allah melimpahkan Shalawat kepada Sayid kita, kekasih kita, dan penolong
kita di hari kiamat, yakni Muhammad. Semoga Allah melimpahkan kepadanya
Shalawat dan Salam yang banyak selama-lamanya. Denganh demikian,
tuduhan-tuduhan itu terbantahkan, al-Razi adalah seorang rasionalis religius,
bukan rasionalis liberal karena al-Razi masih mengakui dan mendasarkan
logikanya kepada agama dan kewahyuan[13].
Dalam filsafatnya mengenai hubungan
manusia dengan Tuhan, ia memandang kesenangan manusia sebenarnya ialah kembali
pada Tuhan dengan meninggalkan alam materi. Untuk kembali ke Tuhan roh harus
terlebih dahulu di sucikan dan yang dapat menyucikan roh ialah ilmu pengetahuan
dan berpantang mengerjakan beberapa hal. Pemahaman al-Razi dekat menyerupai
zahid (زَاهِدْ) dalam hidup kebendaan. Tetapi ia menganjurkan moderasi, jangan
terlalu mencari kesenangan. Manusia harus menjauhi kesenangannya yang dapat
diperoleh hanya dengan menyakiti orang lain atau bertentangan dengan rasio.
Tetapi sebaliknya manusia jangan pula sampai tidak makan atau berpakaian,
tetapi makan dan berpakaian sekedar untuk memelihara diri[14].
KESIMPULAN
Abu
Bakar Muhammad Ibn Zakaria bin Yahya Al-Razi adalahmerupakan figur filosof
muslim yang kelahiran Rayy (Iran) 1 sya’ban 251 H/865 M yang memiliki
eksistensi controversial di tengah-tengah pemikiran muslim lainya, ia merupakan
ilmuwan yang sangat berani dalam mengemukakan teori, begitupula doktrin
falsafatnya tentang lima yang kekal yaitu Tuhan, Jiwa Universal, Materi
pertama, Ruang Absolut, dan Waktu Absolut. Disamping itu ia juga dikenal
sebagai dokter sehinggaia pernah dipercayakan untuk memimpin rumah sakit Rayy.
Al-Razi
orang yang aktif berkarya, buku-buknya sangat banyak, bahkan dia mempersiapkan
katalog yang diproduksi oleh Ibn al-Nadhim. Adapun buku-buku yang ditulisnya
mencakup ilmu kedokteran, ilmu fisika, logika matematika, astronomi, filsafat
dan lain-lain.
Pemikirannya
sangat bersifat rasional dibandingkan denga filosof muslim lainnya,
meskipundemikian kontribusi pemikirannya banyak memberikan aspirasi bagi
pemikiran filsafat Islam.
[2]
Mustofa, Filsafat
Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2004) hal 115
[3]
Syarif,
History of Muslim Philosophy, (Wisbaden:
Otto Horossowitz, 1963) hal 436
[4]
M, Syarif, Para Filosof Muslim, (Bandung: Mizan,
1994), hal. 36
[5]
Thawil
Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat
Islam, (Semarang: Dina Utama, 1993), hal 22
[6]
. M, Syarif, Para Filosof Muslim…,hal 38
[7]
Harun Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam ... ,
hal 24
[8]
Syarif, Para filosof Muslim (Bandung: Mizan, 1996) hal
43.
[9] Ibid hal 24
[10]M. Syarif, Para Filosof Muslim … , hal 47
[11]
Seyyed Hosen Nasser &
Oliver Leaman (edt), Ensiklopedi Tematis
Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2003), hal 669
[12]
Mustofa, Filsafat Islam … , hal 118
[13]
Ahmad
Aziz Dahlan, Kitab Al-Razi, Al-Thibb
al-Ruhani, dalam Lajnah Ihya’Al-Thurats al-Arabi (ed) Rasa’il Falsafiyah,
(Beirut: Dar al-Falaq al-Jadidah, 1982), hal 95
[14]
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam (Jakarta:
Bulan Bintang, 2008) hal 13.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar