Jumat, 18 November 2016

ABU BAKAR MUHAMMAD IBNU ZAKARIA AL-RAZI



ABU BAKAR MUHAMMAD IBNU ZAKARIA AL-RAZI

A.   Biografi Ar-Razi
Al Razi adalah seorang filosof muslim kedua setelah al-Kindi, nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad Ibnu Zakaria Ibnu Yahya Al-razi. Dalam wacana keilmuan barat dikenal dengan sebutan Rhazes. Ia dilahirkan di sebuah kota bernama Razy, kota tua yang dahulunya bernama Rhogee, dekat Teheran, Republik Islam Iran. Ia lahir pada tanggal 1 Sya’ban 251 M/865 M. Beliau wafat pada Tahun 925 M[1].
Pada masa mudanya, ia menjadi tukang intan dan suka pada musik (kecapi). Ia cukup respek terhadap ilmu kimia, sehingga tidak mengherankan apabila kedua matanya buta akibat dari eksperimen yang dilakukannya. Namun, para sarjana berpendapat bahawa al-Razi mengalami sakit mata dan kemudiannya buta pada penghujung hayat-nya. Al-Razi menderita akibat ketekunannya menulis dan membaca yang terlalu banyak. Ia juga belajar ilmu kedoktoran (obat-obatan) dengan sangat tekun pada seorang dokter dan filosof yang lahir di Merv pada Tahun 192 H/808 M yang bernama Ali Ibnu Robban al-Thabari. Kemungkinan guru ini pula yang menumbuhkan minat al-Razi untuk bergulat dengan filsafat agama, karena ayah guru tersebut adalah seorang pendeta Yahudi yang ahli dalam kitab-kitab suci[2].
Walaupun pada akhirnya beliau dikenal sebagai ahli pengobatan seperti Ibnu Sina, pada awalnya al-Razi adalah seorang ahli kimia. Menurut sebuah riwayat yang dikutip oleh Nasr (1968), al-Razi meninggalkan dunia kimia karena penglihatannya mulai kabur akibat eksperimen-eksperimen kimia yang meletihkannya dan dengan bekal ilmu kimianya yang luas lalu menekuni dunia medis kedokteran, yang rupanya menarik minatnya pada waktu mudanya. Ia mengatakan bahwa seorang pasien yang telah sembuh dari penyakitnya adalah disebabkan oleh respon reaksi kimia yang terdapat di dalam tubuh pasien tersebut. Dalam waktu yang relatif cepat, ia mendirikan rumah sakit di Rayy, salah satu rumah sakit yang terkenal sebagai pusat penelitian dan pendidikan medis. Selang beberapa waktu kemudian, ia juga dipercaya untuk memimpin rumah sakit di Baghdad.
Menurut informasi sejarah yang dikemukakan oleh Al-Qifti dan Usaibi’ah sulit dipercaya. Menurutnya al-Razi berguru kepada Ali Ibnu Rabban al-Thabari, seorang dokter dan filosof. Padahal Al-Razi lahir sepuluh tahun setelah Ali Ibnu Rabban al-Thabari meninggal dunia. Menurut al-Nadim yang benar adalah al-Razi belajar filsafat kepada al-Balkhi, menguasai filsafat dan ilmu-ilmu kuno.
Disiplin ilmu al-Razi meliputi ilmu falak, matematika, kimia, kedokteran, dan filsafat. Ia lebih terkenal sebagai ahli kimia dan ahli kedokteran dibanding sebagai filosof. Ia sangat rajin menulis dan membaca, agaknya inilah yang menyebabkan penglihatannya berangsur-angsur melemah dan akhirnya buta total. Akan tetapi, ia menolak untuk diobati dengan mengatakan pengobatan akan sia-sia belaka karena sebentar lagi ia akan meninggal[3].
Di kala itu, ilmu pengetahuan yang dimiliki al-Razi sangatlah banyak sehingga banyak orang-orang yang belajar kepadanya. Ini terlihat dengan metode penyampaian pemikirannya berbentuk sistem pengembangan daya intelektual (sistem diskusi). Apabila ada seorang murid yang bertanya maka pertanyaan itu tidak langsung dijawabnya melainkan dilempar kembali kepada murid-murid lainnya yang terbagi beberapa kelompok. Apabila kelompok pertama tidak dapat menjawab maka pertanyaan dilempar pada kelompok kedua, dan seterusnya. Ketika semuanya tidak dapat menjawab ataupun ada yang menjawab tetapi jawabannya kurang benar, barulah al-Razi yang memebrikan jawaban atas pertanyaan tersebut.

B.     Karya- karya Al Razi
Buku-buku Al Razi sangat banyak. Dia sendiri mempersiapkan katalog untuk buku-buku yang ditulisnya, dan kemudian diproduksi oleh Ibn Al Nadim. Yang kita temukan: 118 buku, 19 surat, 4 buku, 6 surat, dan satu maqalah, jumlah seluruhnya 148 buah. Setelah Ibn Nadim, Al Biruni menulis bibliografi Al Razi. Tulisan ini ditemukan di sebuah naskah unik di Leiden, yang disunting oleh Paul Kraus, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman oleh J. Ruska dalam artikelnya Al Biruni als Quelle fur das Leben und die Suchriften al Razi’s. Katalog ini didahului dengan catatan singkat tentang kehidupan Al Razi. Buku-buku tersebut dikelompokkan sebagai berikut:
1.      Tentang ilmu kedokteran
2.      Ilmu fisika
3.      Logika
4.      Matematika dan astronomi
5.      Komentar, ringkasan dan ikhtisar
6.      Filsafat dan ilmu pengetahuan hipotesis
7.      Metafisika
8.      Teologi
9.      Alkimia
10.  Tentang atheism
11.  Campuran[4].
Adapun buku-bukunya mengenai filsafat antara lain:
1.      Al-Tibb al-Ruhani (British Museum, Add. Or. 25758 ; Vat. Ar. 182 Kairo 2241 Tas).
2.      Al-Shirat al-falsafiyyah (Brit. Mus. Add. Or. 7473).
3.      Amarat Iqbal al-Daulah (Raghib 1463, ff. 98a-99b, Istambul).
4.      Kitab al-Ladzdzah.
5.      Al-Ilm al-Ilahi[5].

C.    Pemikiran Ar Razi

Filsafat Lima Kekal (metafisika)
Filsafat al-Razi yang paling terkenal dengan ajarannya yang dinamakan Lima yang Kekal, yakni:
1.      Allah Ta’ala ( الباري تعالى )
Menurut Ar Razi, Allah adalah Maha Pencipta dan Pengatur seluruh alam ini. Alam diciptakan bukan dari ketiadaan tetapi dari sesuatu yang sudah ada. Karenanya, alam semestinya tidak kekal sekalipun materi pertama (Allah) kekal, sebab penciptaan di sini dalam arti disusun dari bahan yang telah ada. Di sisi lain, jika Allah menciptakan alam dari ketiadaan, tentu Allah akan menciptakan segala sesuatu dari yang tidak ada. Namun kenyataannya, penciptaan seperti itu adalah suatu hal yang tidak mungkin.
2.      Jiwa universal ( النفس الكلية  )
Pada benda-benda alam terdapat daya hidup dan gerak tetapi tanpa bentuk. Dalam hal ini, jiwa adalah roh, zat yang halus seperti udara, sehingga sulit untuk diketahui karena ia tanpa bentuk dan rupa.
3.       Materi pertama ( الهيولى الأولى )
Adalah substansi yang kekal terdiri dari atom-atom. Setiap atom memiliki volume. Tanpa volume pengumpulan atom-atom tidak bisa menjadi suatu yang berbentuk. Bila dunia dihancurkan maka ia juga terpisah-pisah dalam bentuk atom-atom.materi pertama ini sangat erat kaitannya dengan jiwa universal (roh). Roh dikuasai naluri untuk bersatu dengan materi pertama sehingga timbullah suatu bentuk yang dapat menerima fisik. Karena itulah Allah menciptakan alam semesta termasuk tubuh manusia agar bisa ditempati roh.
4.      Tempat ruang absolut ( المكان المطلق )
Adanya materi kekal maka membutuhkan ruang yang sesuai untuknya. Ruang dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu pertama, ruang partikular/relatif, ia terbatas dan terikat dengan wujud yang menempatinya. Kedua, ruang universal/mutlak, ia tidak terikat dengan segala sesuatu yang ada dan tidak terbatas.
5.      Masa absolut ( الزمان المطلق )
Waktu adalah substansi yang mengalir dan bersifat kekal. Ar Razi membaginya menjadi 2 bagian, yaitu pertama, waktu mutlak, ia tidak memiliki awal dan akhir serta bersifat universal. Ia terlepas sama sekali dari alam semesta dan gerakan falaq. Kedua, waktu relatif, ia tidak kekal dan terbatas karena terikat dengan gerakan falaq, terbit dan tengelamnya matahari. Ringkasnya, karena ia disifati dengan angka dan dapat diukur[6].

Filsafat Tentang Roh dan Materi
Mengenai filsafat tentang jiwa (ruh), bermula dari sebuah pertanyaan yang timbul dari buah pikiran al-Razi, yakni, sebuah pertanyaan tentang keabadian lain, setelah kematian? Keabadian lain itu adalah ruh yang akan selalu hidup, tetapi ruh bodoh. Materi juga kekal, karena kebodohannya ruh mencintai materi dan membuat banyak dirinya untuk memperoleh kebahagiaan materi. Tetapi materi menolak, akhirnya Tuhan ikut campur untuk membantu ruh. Dijadikan lapisan dari ruh, yakni sebuah jasad yang beragam macam. Kemudian Tuhan menciptakan sebuah jasad yang sempurna, itulah manusia  yang berguna untuk menggerakkan aktifitas di dunia ini.
Dalam filsafatnya mengenai hubungan manusia denganTuhan, ia dekat kepada filsafat Pythagoras, yang memandang kesenangan manusia sebenarnya ialah kembali kepada Tuhan dengan meninggalkan alam materi ini. Untuk kembali ke Tuhan, maka roh harus lebih dahulu disucikan dan yang dapat menyucikan roh  adalah ilmu pengetahuan dan membuat pantangan dalam mmengerjakan beberapa hal tanpa dasar ilmu. Menurut al-Razi jalan mensucikan roh adalah falsafat. Manusia harus menjauhi kesenangan yang dapat diperoleh hanya dengan menyakiti orang lain atau yang bertentangan dengan rasio. Tetapi sebaliknya, manusia jangan pula sampai tidak makan atau berpakaian, tetapi makanlah dan berpakaian sekedar untuk memelihara diri[7].
Sungguhpun materi pertama kekal, alam tidak kekal. Alam diciptakan Tuhan, bukan dalam arti creatio ex nihilio (penciptaan dari tidak ada), tetapi dalam arti di susun dari bahan yang telah ada. Menurut al-Razi, Tuhan pada mulanya tidak beniat membuat alam ini. Tetapi pada suatu ketika, keabadian yang lain yaitu roh tertarik dan mencintai materi pertama, bemain dengan materi pertama itu, tetapi materi pertama berontak. Tuhan menolong roh dengan membentuk alam ini dalam susunan yang kuat sehingga roh dapat mencari kesenangan materi didalamnya.
Tuhan tahu bahwa pengikatan ini merupakan sebab kejahatan, tetapi setelah hal itu terjadi, Tuhan mengarahkan ke jalan yang yang sebaik mungkin. Akan tetapi beberapa kejahatan tetap ada; sumber seluruh kejahatan, susunan roh dan materi ini sepenuhnya tak dapat di murnikan.
Tuhan mewujudakan manusia dan di dalamnya mengambil tempat. Terikat pada materi, roh lupa pada asalnya dan lupa bahwa kesenangannya yang sebenarnya bukan terletak dalam persatuan dengan materi tetapi dalam melepaskan diri dari materi. Oleh karena itu mewujudkan akal, yang berasal dari zat Tuhan sendiri. Tugas akal ialah untuk menyadarkan manusia yang telah terpedaya oleh kesenangan materi, bahwa alam materi ini bukanlah alam yang sebenarnya. Alam yang sebenarnya dan kesenangan sebenarnya berada di luar alam materi dan alam itu dapat di capai hanya dengan falsafat. Roh akan tetap tinggal di alam materi ini, selama ia tidak dapat menyucikan diri dengan falsafat. Apakah dalam bentu reingkarnasi atau dalam bentuk pindah dari suatu planet ke planet yang lain, seperti pendapat alkindi, tidak jelas. Tetapi kalau seluruh roh sudah bersih, seluruhnya akan kembali ke alam asalnya. Pada ketika itu alam materi akan hancur, dan roh dan materi kembali ke asalnya semula. Alam ini adalah terbatas dan hanya satu, dan di luar alam terdapat tuhan[8].

 Filsafatnya Tentang Rasio dan Agama
Harun Nasution dalam bukunya falsafat mistisisme dalam Islam diungkapkan bahwa; Al-Razi adalah seorang rasionalis yang hanya percaya pada kekuatan akal dan tidak percaya pada wahyu dan nabi-nabi. Ia berkeyakinan bahwa akal manusia kuat untuk mengetahui apa yang baik serta apa yang buruk, untuk tahu pada Tuhan dan untuk mengatur hidup manusia di dunia ini. Manusia terlahir pada dasarnya telah dibekali akan sebuah potensi daya berpikir yang sungguh sama besarnya, dan perbedaan itu timbul  karena berlainan pendidikan dan berlainan suasana perkembangannya. Ia tidak percaya dengan para Nabi karena dia menganggap para Nabi membawa tradisi berupa upacara-upacara yang mempengaruhi jiwa rakyat yang pikirannya sederhana. Ia juga berani menganggap bahwa al-Qur’an bukan mukjizat. Tetapi yang diutamakan baginya adalah buku-buku falsafat dan ilmu pengetahuan daripada buku-buku agama. Walaupun ia menentang agama pada umumnya, ia bukanlah seorang ateis, akan tetapi ia seorang monoteis yang percaya pada adanya Tuhan sebagai pengatur alam[9].
Dalam hal ini, Badawi menerangkan alasan-alasan al-Razi dalam menolak kenabian, adapun alasan-alasannya antara lain: pertama, akal sudah memadai untuk membedakan antara yang baik dan yang jahat, yang berguna dan tidak berguna. Hanya dengan akal semata, manusia mampu mengetahui Allah yang mengatur kehidupan dengan sebaik-baiknya. Kedua, tidak ada alasan yang kuat bagi pengistimewaan beberapa orang untuk membimbing semua orang karena semua orang lahir dengan kecerdasan yang sama. Perbedaan manusia bukan karena pembawaan alamiah, tetapi karena pengembangan dan pendidikan. Ketiga, para Nabi saling bertentangan. Pertentangan tersebut seharusnya tidak ada jika mereka berbicara atas nama satu Allah[10].
Sebagai bukti sikap Rasionalis yang dimiliki oleh al-Razi terhadap akal, terlihat dalam bukunya Ath-Thibb Ar-Ruhani. Dalam Kitab tersebut, ia mengatakan:
”Tuhan, segala puji bagi-Nya, yang telah memberi kita akal agar dengannya, kita memperoleh sebanyak-banyak manfa’at. Inilah karunia terbaik Tuhan kepada kita. Dengan akal, kita melihat segala  yang berguna bagi kita dan yang membuat hidup kita baik, dengan akal kita dapat mengetahui yang gelap, yang jauh, dan yang tersembunyi dari kita. Dengan akal pula, kita dapat memperoleh pengetahuan tentang Tuhan, suatu pengetahuan tertinggi yang dapat kita peroleh, jika akal sedemikian mulia dan penting; kita tidak boleh melecehkannya, kita tidak boleh menentukannya, sebab ia adalah penentu, atau kita tidak boleh mengendalikannya, sebab ia adalah pengendali, atau memerintahnya, sebab ia adalah pemerintah. Tetapi kita harus merujuk kepadanya dalam segala hal dan menentukan segala masalah dengannya, kita harus sesuai dengan perintahnya"[11].
Pernyataan al-Razi merupakan suatu ungkapkan keagungannya terhadap akal. Al-Razi memang menentang kenabian wahyu dan kecendrungan irrasional. Segalanya harus masuk akal ilmiah dan logis. Sehingga akal sebagai kriteria prima dalam pengetahuan dan prilaku. Perbedaan manusia adalah disebabkan oleh berbedanyan pemupukan akal karena ada yang memperhatikan hal tersebut dan ada yang tidak memperhatikannya, baik dalam segi teoritis maupun yang bersifat praktis[12].
Fenomena yang terjadi, bahwa al-Razi adalah seorang yang selalu mengagungkan akal, ini terbantah karena pendapat demikian adalah sebuah tuduhan-tuduhan yang diberikan kepadanya dari lawan-lawan debatnya. Hal seperti ini lumrah terjadi karena untuk kepentingan politik semata yang kalah tetapi tidak sadar diri. Dalam bukunya al- Thibb al-Ruhani tidak ditemukan keterangan bahwa al-Razi mengingkari kenabian ataupun agama, namun sebaliknya ia mewajibkan untuk menghormati agama dan berpegang teguh kepada agama, karena dengan agama akan mendapatkan kenikmatan di akhirat berupa surga dan mendapatkan keuntungan berupa ridha Allah. Dalam buku tersebut ia mengatakan:
”Mengendalikan hawa nafsu adalah wajib menurut rasio, menurut semua orang berakal dan menurut semua agama dan wajiblah manusia yang baik, Manusia yang utama dan yang melaksanakan syari’ah secara sempurna, tidak perlu takut terhadap kematian. Hal ini disebabkan syari’ah telah menjanjikan kemenangan dan kelapangan serta (menjanjikan) bisa mencapai kenikmatan abadi.
Selain itu, al-Razi juga mengakui kenabian sebagaimana ia nyatakan dengan sebuah kata ”Semoga Allah melimpahkan Shalawat kepada ciptaan-Nya yang terbaik, Nabi Muhammad dan keluarganya dan semoga Allah melimpahkan Shalawat kepada Sayid kita, kekasih kita, dan penolong kita di hari kiamat, yakni Muhammad. Semoga Allah melimpahkan kepadanya Shalawat dan Salam yang banyak selama-lamanya. Denganh demikian, tuduhan-tuduhan itu terbantahkan, al-Razi adalah seorang rasionalis religius, bukan rasionalis liberal karena al-Razi masih mengakui dan mendasarkan logikanya kepada agama dan kewahyuan[13].
Dalam filsafatnya mengenai hubungan manusia dengan Tuhan, ia memandang kesenangan manusia sebenarnya ialah kembali pada Tuhan dengan meninggalkan alam materi. Untuk kembali ke Tuhan roh harus terlebih dahulu di sucikan dan yang dapat menyucikan roh ialah ilmu pengetahuan dan berpantang mengerjakan beberapa hal. Pemahaman al-Razi dekat menyerupai zahid (زَاهِدْ) dalam hidup kebendaan. Tetapi ia menganjurkan moderasi, jangan terlalu mencari kesenangan. Manusia harus menjauhi kesenangannya yang dapat diperoleh hanya dengan menyakiti orang lain atau bertentangan dengan rasio. Tetapi sebaliknya manusia jangan pula sampai tidak makan atau berpakaian, tetapi makan dan berpakaian sekedar untuk memelihara diri[14].

KESIMPULAN
Abu Bakar Muhammad Ibn Zakaria bin Yahya Al-Razi adalahmerupakan figur filosof muslim yang kelahiran Rayy (Iran) 1 sya’ban 251 H/865 M yang memiliki eksistensi controversial di tengah-tengah pemikiran muslim lainya, ia merupakan ilmuwan yang sangat berani dalam mengemukakan teori, begitupula doktrin falsafatnya tentang lima yang kekal yaitu Tuhan, Jiwa Universal, Materi pertama, Ruang Absolut, dan Waktu Absolut. Disamping itu ia juga dikenal sebagai dokter sehinggaia pernah dipercayakan untuk memimpin rumah sakit Rayy.
Al-Razi orang yang aktif berkarya, buku-buknya sangat banyak, bahkan dia mempersiapkan katalog yang diproduksi oleh Ibn al-Nadhim. Adapun buku-buku yang ditulisnya mencakup ilmu kedokteran, ilmu fisika, logika matematika, astronomi, filsafat dan lain-lain.
Pemikirannya sangat bersifat rasional dibandingkan denga filosof muslim lainnya, meskipundemikian kontribusi pemikirannya banyak memberikan aspirasi bagi pemikiran filsafat Islam.


[1] Harun Nasution,  Filsafat dan Mitisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973) hal  21
[2] Mustofa,  Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2004) hal 115

[3] Syarif, History of Muslim Philosophy, (Wisbaden: Otto Horossowitz, 1963) hal 436

[4] M, Syarif, Para Filosof Muslim, (Bandung: Mizan, 1994), hal. 36
[5] Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, (Semarang: Dina Utama, 1993), hal 22

[6] . M, Syarif, Para Filosof Muslim…,hal 38
[7] Harun Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam ... , hal 24
[8] Syarif, Para filosof Muslim (Bandung: Mizan, 1996) hal 43.
[9] Ibid hal 24
[10]M. Syarif, Para Filosof Muslim … , hal 47
[11] Seyyed Hosen Nasser & Oliver Leaman (edt), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2003), hal 669
[12] Mustofa, Filsafat Islam … , hal 118
[13] Ahmad Aziz Dahlan, Kitab Al-Razi, Al-Thibb al-Ruhani, dalam Lajnah Ihya’Al-Thurats al-Arabi (ed) Rasa’il Falsafiyah, (Beirut: Dar al-Falaq al-Jadidah, 1982), hal 95

[14] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 2008) hal 13.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar