Selasa, 20 Oktober 2015

Proses perkembangan psiko fisik siswa

Berbagi Pengetahuan & Pengalaman Yang membedakan diantara manusia hanyalah tingkat pengetahuan & pengalamannya ..... ▼ Rabu, 17 September 2014 Psikologi Pendidikan I Perkembangan Psiko-Fisik Siswa Pembahasan mengenai perkembangan ranah-ranah psiko-fisik pada bagian ini akan penyusun fokuskan pada proses-proses perkembangan yang dipandang memiliki keterkaitan langsung dengan kegiatan belajar siswa. Proses-proses perkembangan tersebut meliputi: 1. Perkembangan motor (motor development), yakni proses perkembangan yang progresif dan berhubungan dengan perolehan aneka ragam keterampilan fisik anak (motor skills); 2. Perkembangan kognitif (cognitive development), yakni perkembangan fungsi intelektual atau proses perkembangan kemampuan/kecerdasan otak anak; dan 3. Perkembangan sosial dan moral (social and moral development), yakni proses perkembangan mental yang berhubungan dengan perubahan-perubahan cara anak berkomunikasi dengan orang lain, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok. 1. Perkembangan Motor (Fisik) Siswa Dalam psikologi, kata motor diartikan sebagai istilah yang menunjuk pada hal, keadaan, dan kegiatan yang melibatkan otot-otot juga gerakan-gerakannya, demikian pula kelenjar-kelenjar juga sekresinya (pengeluaran cairan/getah). Secara singkat, motor dapat pula dipahami sebagai segala keadaan yang meningkatkan atau menghasilkan stimulus/rangsangan terhadap kegiatan organ-organ fisik. Proses perkembangan fisik anak berlangsung kurang lebih selama dua dekade (dua dasawarsa) sejak ia lahir. Semburan perkembangan (spurt) terjadi pada masa anak menginjak usia remaja antara 12 atau 13 tahun hingga 21 atau 22 tahun. Pada saat perkembangan berlangsung, beberapa bagian jasmani, seperti kepala dan otak yang pada waktu dalam rahim berkembang tidak seimbang (tidak secepat badan dan kaki), mulai menunjukkan perkembangan yang cukup berarti hingga bagian-bagian lainnya menjadi matang. Bekal apakah yang dibawa anak yang baru lahir sebagai dasar perkembangan kehidupannya selama di dunia? Menurut Gleitman (1987) ada dua jawaban pokok untuk pertanyaan ini, yaitu: 1) bekal kapasitas motor (jasmani); dan 2) bekal kapasitas pancaindera (sensori). Mula-mula seorang anak yang baru lahir hanya memiliki sedikit sekali kendali terhadap aktivitas alat-alat jasmaninya. Setelah berusia empat bulan, bayi itu sudah mulai mampu duduk dengan bantuan sanggaan dan dapat pula meraih dan menggenggam benda-benda mainannya yang sering hilang dari pandangannya. Kini ia telah memiliki “grasp reflex” yakni gerakan otomatis untuk menggenggam. Inilah reflex primitif (yang ada sejak dahulu kala) yang diwariskan nenek moyangnya tanpa perlu dipelajari. Respons otomatis yang juga dimiliki seorang bayi sebagai bekal dan dasar perkembangannya ialah “rooting reflex” (reflex dukungan) yakni gerakan kepala dan mulut yang otomatis setiap kali pipinya disentuh, kepalanya akan berbalik atau bergerak ke arah datangnya rangsangan lalu mulutnya terbuka dan terus mencari hingga mencapai putting susu atau putting dot botol susu yang telah disediakan untuknya. Dua macam reflex di atas, grasp dan rooting reflex merupakan kapasitas jasmani yang sampai umur kurang lebih lima bulan belum memerlukan kendali ranah kognitif karena sel-sel otaknya sendiri belum cukup matang untuk berfungsi sebagai alat pengendali. Bekal psikologis kedua yang dibawa anak dari rahim ibunya ialah kapasitas sensori. Kapasitas sensori seorang bayi lazimnya mulai berlaku bersama-sama dengan berlakunya refleks-refleks motor tadi, bahkan terkadang dengan kualitas yang lebih baik. Hal ini terbukti dengan adanya kemampuan pengaturan napas, penyedotan, dan tanda-tanda respons terhadap stimulus lainnya. Berkat adanya bekal kapasitas sensori, bayi dapat mendengar dengan baik bahkan mampu membedakan antara suara yang keras dan kasar dengan suara lembut ibunya atau suara lembut ibunya atau suara lembut wanita-wanita lainnya. Hal ini dapat dilihat dari kecenderungannya untuk lebih tertarik pada suara dan ajakan ibunya daripada kepada suara dan jakan ayahnya atau laki-laki lain yang ada disekitarnya. Di samping itu, bayi juga dapat melihat sampai batas jarak empat kaki atau kira-kira satu seperempat meter, tetapi belum mampu memusatkan pandangannya pada barang-barang yang ia lihat. Namun, kemampuan membedakan suasana terang dan gelap, membedakan warna (walaupun belum mampu menyebut nama jenis warna), dan mengikuti gerakan benda-benda, sudah mulai tampak. Semua kapasitas yang dibawa anak dari rahim ibunya baik kapasitas jasmani maupun kapasitas rohani, seperti yang penyusun utarakan tadi, adalah modal dasar yang tampak segera berfaidah bagi kelanjutan perkembangan anak tersebut. Di sisi lain, proses pendidikan dan pengajaran (khususnya di sekolah) merupakan pendukung yang sangat berarti bagi perkembangan motor atau fisik anak, terutama dalam hal perolehan kecakapan-kecapan psikomotor atau ranah karsa anak tersebut. Ketika seorang anak memasuki sekolah dasar atau ibtidaiyah pada umur enam atau tujuh tahun sampai dua belas atau tiga belas tahun, perkembangan fisiknya mulai tampak benar-benar seimbang dan proporsional. Artinya, organ-organ jasmani tumbuh serasi dan tidak lebih panjang atau lebih besar dari yang semestinya. Misalnya, ukuran tangan kanan tidak lebih panjang daripada tangan kiri atau ukuran leher tidak lebih besar daripada ukuran kepala yang disangganya. Gerakan-gerakan organ tubuh anak juga menjadi lincah dan terarah seiring dengan munculnya keberanian mentalnya. Contoh: jika dalam usia balita atau seusia TK tidak berani naik sepeda atau memanjat pohon dan melompat pagar, pada usia sekolah ia akan menunjukkan keberanian melakukan itu. Keberanian dan kemampuan ini, di samping karena perkembangan kapasitas mental, juga disebabkan oleh adanya keseimbangan dan keselarasan gerakan organ-organ tubuh anak. Namun, patut dicatat bahwa perkembangan kemampuan fisik anak itu kurang berarti dan tak bisa meluas menjadi keterampilan-keterampilan psikomotor yang berfaidah tanpa usaha pendidikan dan pengajaran. Gerakan-gerakan motor siswa akan terus meningkat keanekaragaman, keseimbangan; dan kekuatannya ketika ia menduduki bangku SLTP dan SLTA. Namun, peningkatan kualitas bawaan siswa ini justru membawa konsekuensi sendiri, yakni perlunya pengadaan guru yang lebih piawai dan terampil. Kepiawaian guru dalam hal ini bukan hanya yang menyangkut cara melatih keterampilan para siswa, melainkan juga kepiawaian yang berhubungan dengan penyampaian ilmu tentang alasan dan cara keterampilan tersebut dilakukan. Belajar keterampilan fisik (motor learning) dianggap telah terjadi dalam diri seseorang apabila ia telah memperoleh kemampuan dan keterampilan yang melibatkan penggunaan lengan (seperti menggambar) dan tungkai (seperti berlari) secara baik dan benar. Untuk belajar memeroleh kemampuan keterampilan jasmani ini, ia tidak hanya cukup dengan latihan dan praktik, tetapi juga memerlukan kegiatan perceptual learning (belajar berdasarkan pengamatan) atau kegiatan sensory-motor learning (belajar keterampilan indrawi-jasmani). Dalam kenyataan sehari-hari, cukup banyak ketrampilan indriawi-jasmani yang rumit dan karenanya memerlukan upaya manipulasi (penggunaan secara cermat), koordinasi, dan organisasi rangkaian gerakan secara tepat, umpamanya keterampilan piano. Dalam memainkan piano, seorang pianis bukan hanya melakukan sejumlah gerakan terpisah begitu saja, melainkan juga menggunakan proses yang telah direncanakan dan dikendalikan secara internal oleh fungsi ranah ciptanya, sehingga gerakan itu menghasilkan suara merdu. Demikian pula keterampilan-keterampilan lainnya (yang bagi sebagian orang tidak serumit bermain piano) seperti menulis, menggambar, dan mendemonstrasikan kecakapan praktis seperti olahraga atau menari dan sebagainya, semuanya membutuhkan proses ranah cipta. Sebab, kinerja jasmani (physical performance) dalam aktivitas-aktivitas tersebut hanya akan bermutu baik apabila pelaksanaannya disertai dengan ketrlibatan fungsi ranah cipta atau akal. Hal ini mengingat pola-pola gerakan yang cakap dan terkoordinasi itu tak dapat tercapai dengan baik semata-mata dengan mekanisme sederhana tetapi dengan menggunakan proses mental yang sangat kompleks (Howe,1980). Demikian besarnya kebergantungan kinerja keterampilan jasmani tersebut pada keterlibatan ranah cipta terbukti dengan sering munculnya kekeliruan siswa yang malas berpikir dalam hal menulis, menggambar, dan memeragakan keterampilan fisik tertentu. Dengan demikian, hampir dapat dipastikan bahwa apabila sebuah aktivitas keterampilan jasmani seorang (siswa), seperti menyalin pelajaran, dilakukan secara otomatis tanpa perhatian fungsi ranah cipta yang memadai, walaupun ia sudah biasa karena sering melakukan kesalahan mungkin akan terjadi. Sehubungan dengan hal itu, motor skills (kecakapan-kecakapan jasmani) perlu dipelajari melalui aktivitas pengajaran dan latihan langsung, bisa juga melakukan pengajaran teori-teori pengajaran yang bertalian dengan motor skills itu sendiri. Aktivitas latihan perlu dilaksanakan dalam bentuk prkatik yang berulang-ulang oleh siswa, termasuk praktik gerakan-gerakan yang salah dan tidak dibutuhkan, sehingga siswa memahami bagian yang keliru dan dapat segera melakukan perbaikan. Akan tetapi, dalam praktik itu hendaknya dilibatkan pengetahuan ranah akal siswa. Praktik tanpa melibatkan ranah akal, umpanya insight (tilikan akal) siswa yang memadai terhadap teknik dan patokan kinerja yang diperlukan, tak dapat dipandang bernilai dan hanya ibarat orang yang sedang senam beramai-ramai. Selanjutnya, kecuali dua macam bekal bawaan anak seperti yang telah penyusun kemukakan di atas apa faktor-faktor lainnya yang mendorong perkembangan keterampilan fisik anak selanjutnya? Ada empat macam faktor yang mendorong kelanjutan perkembangan motor skills anak yang juga memungkinkan campur tangan orangtua dan guru dalam mengarahkannya, yaitu: 1) pertumbuhan dan perkembangan sistem syaraf; 2) pertumbuhan otot-otot; 3) perkembangan dan pertumbuhan fungsi kelenjar endokrin; dan 4) perubahan struktur jasmani. Pertama, pertumbuhan dan perkembangan sistem syaraf (nervous system). Sistem syaraf adalah organ halus dalam tubuh yang terdiri atas struktur jaringan serabut syaraf yang sangat halus yang berpusat di central nervous system, yakin pusat sistem jaringan syaraf yang ada di otak (Reber, 1988). Pertumbuhan syaraf dan perkembangan kemampuannya membuat intelegensi (kecerdasan) anak meningkat dan mendorong timbulnya pola-pola tingkah laku baru. Semakin baik perkembangan kemampuan sistem syaraf seorang anak akan semakin baik dan beraneka ragam pula pola-pola tingkah laku yang dimilikinya. Namun uniknya, berbeda dengan organ tubuh lainnya, organ sistem syaraf apabila rusak tak dapat diganti atau tumbuh lagi. Contoh: seorang anak yang luka berat pada bagian kakinya hingga sebagian dagingnya terlepas dapat disembuhkan dan bagian yang hilang itu tumbuh lagi karena obat dan gizi. Tetapi, kalau anak itu terluka pada bagian kepalanya hingga salah satu struktur subsistem syaraf rusak atau terputus misalnya, anak tersebut akan mengalami gangguan ingatan gangguan bicara, gangguan pendengaran, gangguan pengecapan rasa, atau gangguan-gangguan lainnya bergantung pada subsistem syaraf mana yang rusak. Gangguan ini pada umumnya bersifat permanen, karena jaringan serabut syaraf yang rusak atau hilang tadi amat sulit untuk tumbuh lagi meskipun lukanya sudah sembuh. Kedua, pertumbuhan otot-otot. Otot adalah jaringan sel-sel yang dapat berubah memanjang dan juga sekaligus merupakan unit atau kesatuan sel yang memiliki daya mengkerut (contractile unit). Di antara fungsi-fungis jaringan pembuluh yang mendistribusikan sari makanan (Reber, 1988). Peningkatan tonus (tegangan otot) anak dapat menimbulkan perubahan dan peningkatan aneka ragam kemampuan dan kekuatan jasmaninya. Perubahan ini tampak sangat jelas pada anak yang sehat dari tahun ke tahun dengan semakin banyaknya keterlibatan anak tersebut dalam permainan yang bermacam-macam atau dalam membuat kerajinan tangan yang semakin meningkat kualitas dan kuantitasnya dari masa ke masa. Perlu dicatat bahwa dalam perkembangan keterampilan terutama dalam berkarya nyata seperti membuat mainan sendiri, melukis, dan seterusnya, peningkatan dan perluasan (intensifikasi dan ekstensifikasi) pendayagunaan otot-otot anak tadi bergantung pada kualitas pusat sistem syaraf dalam otaknya. Ketiga, perkembangan dan perubahan fungsi kelenjar-kelenjar endokrin (endocrine glands). Kelenjar adalah alat tubuh yang menghasilkan cairan atau getah, sperti kelenjar keringat. Sedang kelenjar endokrin secara umum merupkan kelenjar dalam tubuh yang memproduksi hormone yang disalurkan ke seluruh bagian dalam tubuh melalui aliran darah. Lawan endokrin adalah eksokrin (exocrine) yang memiliki pembuluh tersendiri untuk menyalurkan hasil sekresinya (proses pembuatan cairan atau getah) seperti kelenjar ludah (Gleitman, 1987). Berubahnya fungsi kelenjar-kelenjar endokrin seperti adrenal (kelenjar endokrin yang meliputi bagian atas ginjal dan memproduksi bermacam-macam hormon termasuk hormon seks), dan kelenjar pituitary (kelenjar di bagian bawah otak yang memproduksi dan mengatur pelbagai hormon termasuk hormon pengembang indung telur dan sperma), juga menimbulkan pola-pola baru tingkah laku anak ketika menginjak remaja. Perubahan fungsi kelenjar-kelenjar endokrin akan mengakibatkan berubahnya pola sikap dan tingkah laku seorang remaja terhadap lawan jenisnya. Perubahan ini dapat berupa seringnya melakukan kerja sama dalam belajar atau berolahraga, berubahnya gaya dandanan/penampilan dan lain-lain perubahan pola perilaku yang bermaksud menarik perhatian lawan jenis. Dalam hal ini, orangtua dan guru seyogianya bersikap antisipatif terhadap kemungkinan terjadinya penyimpangan-penyimpangan perilaku seksual yang tidak dikehendaki demi kelangsungan perkembangan para siswa remaja yang menjadi tanggun jawabnya. Keempat, perubahan struktur jasmani. Semakin meningkat usia anak akan semakin meningkat pula ukuran tinggi dan bobot serta proporsi (perbandingan bagian) tubuh pada umumnya. Perubahan jasmani ini akan banyak berpengaruh terhadap perkembangan kemampuan dan kecakapan motor skills anak. Kecepatan berlari, dan sebagainya akan terus meningkat seiring dengan proses penyempurnaan struktur jasmani siswa. Namun, kemungkinan perbedaan hasil belajar psikomotor seorang siswa dengan siswa-siswa lainnya selalu ada, karena kapasitas ranah kognitif juga banyak berperan dalam menentukan kualitas dan kuantitas prestasi ranah karsa. Pengaruh perubahan fisik seorang siswa juga tampak pada sikap dan perilakunya terhadap orang lain, karena perubahan fisik itu sendiri mengubah konsep diri (self-concept) siswa tersebut. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa perkembangan fisik siswa lebih memiliki signifikansi daripada usia kronologisnya sendiri. Timbulnya kesadaran seorang siswa yang berbadan terlalu besar dan tinggi atau terlalu kecil dan rendah jika dibandingkan dengan teman-teman sekelasnya mungkin sekali akan memengaruhi pola sikap dan perilakunya baik ketika berada di dalam kelas maupun di luar kelas. Sikap dan perilaku yang berbeda ini bersumber dari positif atau negatifnya self-concept yang dia miliki. Apabila siswa tersebut memiliki self-concept yang negatif terhadap dirinya yang berkembang terlalu pesat atau terlalu lambat itu, sehingg menimbulkan kecemasan (misalnya kalau-kalau ditinggalkan teman-temannya, atau takut menjadi bahan gunjingan teman-teman sekelas), para guru seyogianya memberikan perhatian khusus kepada siswa tersebut. Perhatian khusus bukan memanjakan atau memberi perlindungan yang berlebihan, melainkan memberi pengertian dan meyakinkannya bahwa soal tinggi dan pendek atau besar dan kecil itu bukan masalah dalam mengejar cita-cita masa depan. Selanjutnya, siswa yang ‘berkelainan’ tubuh tersebut diharapkan dapat lebih mudah memperbaiki konsep dirinya sendiri apabila guru memberi contoh-contoh konkret mengenai kesuksesan orang-orang yang terlalu pendek dan terlalu jangkung. 2. Perkembangan Kognitif Siswa Istilah “cognitive” berasal dari kata cognition yang padanannya knowing, berarti mengetahui. Dalam arti yang luas, cognition (kognisi) ialah perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan (Neisser, 1976). Dalam perkembangan selanjutnya, istilah kognitif menjadi popular sebagai salah satu domain atau wilayah/ranah psikologis manusia yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesengajaan, dan keyakinan. Ranah kejiwaan yang berpusat di otak ini juga berhubungan dengan konasi (kehendak) dan afeksi (perasaan) yang bertalian dengan ranah rasa (Chaplin, 1972). Sebagian besar psikolog terutama kognitivitas (ahli psikologi kognitif) berkeyakinan bahwa proses perkembangan kognitif manusia mulai berlangsung sejak ia baru lahir. Bekal dan modal dasar perkembangan manusia, yakni kapasitas motor dan kapasitas sensori seperti yang telah penyusun uraikan, di muka, ternyata samapai batas tertentu, juga dipengaruhi oleh aktivitas ranah kognitif. Pada poin 1 bagian ini telah penyusun utarakan, bahwa campur tangan sel-sel otak terhadap perkembangan bayi baru dimulai setelah ia berusia 5 bulan saat kemampuan sensorinya (seperti melihat dan mendengar) benar-benar mulai tampak. Menurut para ahli psikologi kognitif, pendayagunaan kapasitas ranah kognitif manusia sudah mulai berjalan sejak manusia itu mulai mendaya gunakan kapasitas motor dan sensorinya. Hanya cara dan intensitas pendayagunaan kapasitas ranah kognitif tersebut tentu masih belum jelas benar. Argument yang dikemukakan para ahli mengenai hal ini antara lain ialah bahwa kapasitas sensori dan jasmani seorang bayi yang baru lahir tidak mungkin dapat diaktifkan tanpa aktivitas pengendalian sel-sel otak bayi tersebtu. Sebagai bukti, jika seorang bayi lahir dengan cacat atau berkelainan otak, kecil sekali kemungkinan bayi tersebut dapat mengotomatisasikan refleks-refleks motor dan daya-daya sensorinya. Otomatisasi refleks dan sensori, menurut para ahli, tidak pernah terlepas sama sekali dari aktivitas ranah kognitif, sebab pusat refleks sendiri terdapat dalam otak, sedangkan otak adalah pusat ranah kognitif manusia. Persoalan mengenai usia berapa hari, berapa minggu, atau berapa bulan aktivitas ranah kognitif mulai memengaruhi perkembangan manusia, menurut hemat penyusun memang sulit ditentukan. Namun, yang lebih mendekati kepastian dan dapat dipedomani ialah hasil-hasil riset para ahli psikologi kognitif yang menyimpulkan bahwa aktivitas ranah kognitif manusia itu pada prinsipnya sudah berlangsung sejak masa bayi, yakni rentang kehidupan antara 0-2 tahun. Hasil-hasil riset kognitif yang dilakukan selama kurun waktu sekitar 30 tahun terakhir ini menyimpulkan bahwa semua bayi manusia sudah berkemampuan menyimpan informasi-informasi yang berasal dari penglihatan, pendengaran, dan informasi-informasi lain yang diserap melalui indera-indera lainnya. Selain itu, bayi juga berkemampuan merespons informasi-informasi tersebut secara sistematis. Implikasi pokok dari hasil-hasil riset kognitif di atas menurut Bower sebagaiman yang dikutip Daehler & Bukatko (1985) ialah bahwa manusia: … begins life as an extremely competent social organism, an extremely competent learning organism, an extremely perceiving organism. Artinya bayi manusia memulai kehidupannya sebagai organisme sosial (makhluk hidup bermasyarakat) yang betul-betul berkemampuan, sebagai makhluk hidup yang betul-betul mampu belajar, dan sebagai makhluk hidup betul-betul yang mampu memahami. Selanjutnya, seorang pakar terkemuka dalam disiplin psikologi kognitif dan psikologi anak, Jean Piaget (sebut: Jin Piasye), yang hidup antara tahun 1896 sampai tahun 1980, mengklasifikasikan perkembangan kognitif anak menjadi empat tahapan. 1. Tahap sensory-motor yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 0-2 tahun. 2. Tahap pre-operational, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 2-7 tahun. 3. Tahap concrete-operational, yang terjadi pada usia 7-11 tahun. 4. Tahap formal-operational, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 11-15 tahun (Daehler & Bukatko, 1985; Best, 1989, Anderson, 1990) Piaget yang lahir di Swiss itu pada mulanya bukan seorang psikolog, melainkan seorang ahli biologi yang sejak umur 20 tahun telah terkenal di seluruh daratan Eropa. Dalam usia 21 tahun ia telah berhasil meraih gelar doktor dengan desertasi hasil penelitian mengenai makhluk jenis kerang-kerangan. Selama aktif di bidang biologi ia juga aktif belajar sendiri ilmu filsafat dan psikologi, lalu bekerja dengan Theodore Simon di Prancis dalam laboratorium yang mengembangkan tes inteligensi Alfred Binet yang masyhur itu. Kemudian, ia menjadi sangat terkenal sebagai seorang kognitifitas jenius yang berhasil menulis lebih dari 30 judul buku bermutu yang bertemakan perkembangan anak dan kognitif. Mulai tahun 1929 ia menjadi direktur Institut Jean Jacques Rousseau (sebut: Jin Jeiks Rusou) di Jenewa. Rousseau (1712-1778) sendiri adalah seorang filosof dan pendidik moral, penggagas aliran humanisme. Namun, walaupun kepiawaiannya dalam kajian psikologi tak terkalahkan oleh para pakar lainnya, pengaruh pemikiran kognitif Piaget dalam dunia psikologi masyarakat berbahasa Inggris seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Australia, baru masuk pada akhir tahun 1950-an. Keterlambatan itu, menurut Bruno (1987), terutama disebabkan oleh terlalu kuatnya cengkeraman aliran psikologi behaviorisme gagasan Watson (1878-1958) yang memandang manusia sebagai mesin dan robot itu. Sekarang aliran psikologi behavioristik ini sudah kian mengecil pengaruhnya dalam dunia psikologi dan pendidikan di negara-negara maju tersebut. Kebanyakan penggunaannya hanya sekadar bahan kajian perbandingan. Selanjutnya, berikut ini akan penyusun uraikan tahapan-tahapan perkembangan kognitif versi Piaget sebagaimana tersebut di atas berdasarkan sumber-sumber dari Daehler & Bukatko (1985), Lazerson (1985), dan Anderson (1990). Namun, untuk memperlancar uraian ini, terlebih dahulu akan penyusun sajikan istilah-istilah khusus dan arti-artinya yang berhubungan dengan proses perkembangan kognitif anak versi Piaget tersebut. 1. Sensory-motor schema (skema sensori-motor) ialah sebuah atau serangkaian perilaku terbuka yang tersusun secara sistematis untuk merespons lingkungan (barang, orang, keadaan, kejadian). 2. Cognitive schema (skema kognitif), ialah perilaku tertutup berupa tatanan langkah-langkah kognitif (operations) yang berfungsi memahami hal tersirat atau menyimpulkan lingkungan yang direspons. 3. Object permanence (ketetapan benda) yakni anggapan bahwa sebuah benda akan tetap ada walaupun sudah ditinggalkan atau tidak dilihat lagi. 4. Assimilation (asimilasi), yakni penyesuaian aplikasi skema yang cocok dengan lingkungan yang direspons. 5. Equilibrium (ekuilibrium), yakni keseimbangan antara skema yang digunakan dengan lingkungan yang direspons sebagai hasil ketetapan akomodasi. Tahap Sensori Motor Selama perkembangan dalam periode sensori motor yang berlangsung sejak anak lahir sampai usia 2 tahun, inteligensi yang dimiliki anak tersebut masih berbentuk primitif dalam arti masih didasarkan pada perilaku terbuka. Meskipun primitif dan terkesan inteligensi dasar yang amat berarti karena ia menjadi fondasi untuk tipe-tipe inteligensi tertentu yang akan dimiliki anak tersebut kelak. Inteligensi sensori-motor dipandang sebagai inteligensi praktis (practical intelligence) yang berfaidah bagi anak usia 0-2 tahun untuk belajar berbuat terhadap lingkungannya sebelum ia mampu berpikir mengenai hal yang sedang ia perbuat. Anak pada periode ini belajar cara mengikuti dunia keberadaan secara praktis dan belajar menimbulkan efek tertentu tanpa memahami hal yang sedang ia perbuat kecuali hanya mencari cara melakukan perbuatan seperti di atas. Ketika seorang bayi berinteraksi dengan lingkungannya, ia akan mengasimilasikan skema sensori-motor sedemikian rupa dengan mengerahkan kemampuan akomodasi yang ia miliki hingga mencapai ekuilbrium yang memuaskan kebutuhannya. Proses asimilasi dan akomodasi dalam mencapai ekulibrium seperti di atas selalu dilakukan bayi, baik ketika ia hendak memenuhi dorongan lapar dan dahaganya maupun ketika bermain dengan benda-benda mainan yang ada di sekitarnya. Mampukah seorang bayi mengenali object permanence? Setelah Piaget melakukan serangkaian eksperimen dan observasi terhadap subjek-subjek bayi, termasuk anak perempuannya sendiri yang berusia 7 bulan. Jacquilene, ia menyimpulkan bahwa bayi di bawah usia 18 bulan pada umumnya belum memiliki pengenalan object permanence. Artinya, benda apapun yang tidak ia lihat, tidak ia sentuh, atau tidak ia dengar selalu dianggap tidak ada meskipun sesungguhnya benda itu ada di tempat lain. Bagaimana pula pengenalan bayi terhadap puting-puting susu ibunya yang setiap saat diperlukan itu? Pada dasarnya, bayi sudah mengenal bahkan memahami objek-objek di sekitarnya termasuk susu ibunya, meskipun hanya dengan skema-sensori. Dengan skema sensori-motor ini bayi mengenali benda-benda sebagai konfigurasi-konfigurasi (gambaran bentuk sesuatu) sensori yang stabil. Konfigurasi itu oleh Piaget disebut “tableaux” atau “tableu” (sebut: teblow) yakni pemandangan tetap atau pertunjukkan bisu. Setiap bayi, sejak usia dua minggu sudah mampu menemukan puting-puting susu ibunya, dan selanjutnya ia belajar mengenal sifat, keadaan, dan cara yang efektif untuk mengisap sumber makanan dan minumannya itu. Kemampuan pengenalan lewat upaya belajar tersebut tidak berarti ia mengerti bahwa susu ibunya itu merupakan organ atau bagian dari tubuh ibunya. Hal apa yang di pahami ialah apabila benda tableau itu didekatkan, maka ia akan mengasimilasikan dan mengakomodasikan skema sensori motornya untuk mencapai ekuilibrium dalam arti dapat memuaskan kebutuhannya. Dalam rentang usia antara 18 hingga 24 bulan, barulah kemampuan mengenal object permanence anak terebut muncul secara bertahap dan sistematis. Sehingga, benda-benda mainan dan orang-orang yang biasa berada di sekitanya (seperti ibu dan pengasuhnya) akan ia cari dengan sungguh-sungguh bila ia memerlukannya. Tahap Pra-operasional (2-7 tahun) Periode perkembangan kognitif pra-operasional terjadi dalam diri anak ketika berumur 2 samapai 7 tahun. Perkembangan ini bermula pada saat anak telah memiliki penguasaan sempurna mengenai object permanence. Artinya, anak tersebut sudah memiliki kesadaran akan ‘tetap eksisnya’ suatu benda yang harus ada atau biasa ada, walaupun benda tersebut sudah ia tinggalkan, atau sudah tak dilihat dan tak didengar lagi. Jadi, eksistensi benda tersebut berbeda dengan periode sensori-motor, tidak lagi bergantung pada pengamatannya belaka. Apakah yang mendasari munculnya kemampuan abstrak ini? Perolehan kemampuan berupa kesadaran terhadap eksistensi object permanence (ketetpan adanya benda) adalah hasil dari munculnya kapasitas kognitif baru yang disebut representation atau mental representation (gambaran mental). Secara singkat, representasi adalah sesuatu yang mewakili atau menjadi symbol atau wujud sesuatu yang lainnya. Representasi mental merupakan bagian penting dari skema kognitif yang memungkinkan anak berpikir dan menyimpulkan eksistensi sebuah benda atau kejadian tertentu walaupun benda atau kejadian itu berada di luar pandangan, pendengaran, atau jangkauan tangannya. Representasi mental juga memungkinkan anak untuk mengembangkan deferred-imitation (peniru yang tertunda) yakni kapasitas meniru perilaku orang lain yang sebelumnya pernah ia lihat untuk merespons lingkungan. Perilaku-perilaku yang ditiru terutama perilaku-perilaku orang lain (khususnya orangtua dan guru) yang pernah ia lihat ketika orang itu merespons barang, orang, keadaan, dan kejadian yang dihadapi pada masa lampau. Seiring dengan munculnya kapasitas deferred-imitation, muncul pula gejala insight-learning, yakni gejala belajar berdasarkan tilikan akal. Dalam hal ini, anak mulai mampu melihat situasi problematik, yakni memahami bahwa sebuah keadaan mengandung masalah, lalu berpikir sesaat. Seusai berpikir, ia memeroleh reaksi ‘aha’, yaitu pemahaman atau ilham spontan untuk memecahkan masalah versi anak-anak. Dengan reaksi ‘aha’ kemudian masalah tadi ia pecahkan. Dalam periode perkembangan pra-operasional, di samping diperolehnya kapasitas-kapasitas seperti tersebut di atas, yang juga sangat penting ialah diperolehnya kemampuan berbahasa. Dalam periode ini anak mulai menggunakan kata-kata yang benar dan mampu pula mengekspresikan kalimat-kalimat pendek tetapi efektif. Hal lain yang perlu penyusun utarakan sehubungan dengan penggunaan skema kognitif anak yang masih terbatas itu ialah bahwa pengamatan dan pemahaman anak terhadap situasi lingkungan yang ia tanggapi sangat dipengaruhi oleh watak egocentrism (egosentrisme). Maksudnya anak tersebut belum bisa memahami pandangan-pandangan orang lain yang berbeda dengan pandangan sendiri. Gejala egosentrisme ini disebabkan oleh masih terbiasanya conservation (konservasi/pengekalan), yakni operasi kognitif yang berhubungan dengan pemahaman anak terhadap aspek dan dimensi kuantitatif materi lingkungan yang ia respons. Mengenai hal di atas dapat dicontohkan sebagai berikut. Apabila dua buah gelas yang berkapasitas sama tetapi berbeda bentuk (yang satu pendek besar, sedangkan lainnya kecil tinggi) dituangi air dengan jumlah yang sama, maka anak akan sangat cenderung menebak isi gelas yang tinggi itu lebih banyak daripada isi gelas yang pendek. Gejala ini menunjukkan bahwa anak tersebut hanya mampu mengkonsentrasikan skema kognitifnya pada ketinggian bentuk air dalam gelas yang tinggi tersebut tanpa memperhitungkan kuantitas atau volume yang sama dalam gelas yang pendek tetapi besar itu. Inilah yang dimaksud dengan keterbatasan konservasi sebagaimana tersebut di atas. Sebagai catatan akhir untuk uraian periode pra-operasional ini, patut penyusun tegaskan bahwa kemampuan-kemampuan skema kognitif anak dalam rentang usia 2-7 tahun memang masih sangat terbatas. Namun demikian, secara kualitatif, fenomena perilaku-perilaku ranah cipta, seperti yang penyusun paparkan di atas, jelas sudah sangat berbeda dengan kemampuan intelegensi sensori-motor yang dimiliki anak ketika berusia 0-2 tahun. Tahap Konkret-operasional (7-11 tahun) Berakhirnya tahap perkembangan pra-operasional tidak berarti berakhirnya pula tahap berpikir intuitif yakni berpikir dengan mengandalkan ilham seperti yang telah penyusun contohkan pada bagian A di atas. Menururt Piaget, tidak sedikit pemikiran orang dewasa yang juga menggunakan intuisi seperti pemikiran pra-operasional anak-anak. Contohnya, saat orang dewasa sedang berangan-angan (daydreaming). Perbedaan memang ada yakni orang dewasa dapat, mengubah maju dan mundur dari inteligensi intuitif (kecerdasan ilham) ke inteligensi operasional kognitif (kecerdasan akli), sedangkan anak-anak belum bisa melakukannya. Dalam periode konkret-operasional yang berlangsung hingga usia menjelang remaja, anak memeroleh tambahan kemampuan yang disebut system of operation (satuan langkah berpikir). Kemampuan satuan langkah berpikir ini lebih berfaedah bagi anak untuk mengkoordinasikan pemikiran dan idenya peristiwa tertentu ke dalam sistem pemikirannya sendiri. Satuan langkah berpikir anak terdiri atas aneka ragam operation (tatanan langkah) yang masing-masing berfungsi sebagai skema kognitif khusus yang merupakan perbuatan intern yang tertutup (interiorized action) yang dapat dibolak-balik atau diukur dengan operasi-operasi lainnya. Satuan langkah berpikir anak kelak akan menjadi dsar terbentuknya inteligensi intuitif. Inteligensi, menurut Piaget, bukan sifat biasanya digambarkan dengan skor IQ itu. Inteligensi adalah proses, tahapan atau langkah operasional tertentu yang mendasari semua pemikiran dan pengetahuan manusia, di samping merupakan proses pembentukan pemahaman. Dalam inteligensi operasional anak yang sedang berada pada tahap konkret-operasional terdapat sistem operasi kognitif yang meliputi: 1) conservation; 2) addition of classes; 3) multiplication of classes. Penjelasan selanjutnya mengenai tiga macam operasi ini adalah sebagai berikut. Conservation (konservasi/pengekalan) adalah kemampuan anak dalam memahami aspek-aspek kumulatif materi, seperti volume dan jumlah. Anak yang mampu mengenali sifat kuantitatif sebuah benda akan tahu bahwa sifat kuantitatif benda tersebut tidak akan berubah secara sembarangan. Jumlah cairan dalam sebuah bejana tidak akan berubah meskipun dituangkan ke dalam bejana lainnya yang lebih besar ataupun lebih kecil. Begitu juga jumlah benda-benda padat seperti kelereng dan sebagainya, tak akan berubah hanya dengan mengubah-ubah tatanannya. Addition of calsess (penambahan golongan benda) yakni kemampuan anak dalam memahami cara mengkombinasikan beberapa golongan benda yang dianggap berkelas lebih rendah, seperti mawar, dan melati, dan menghubungkannya dengan golongan benda yang berkelas lebih tinggi, seperti bunga. Di samping itu, kemampaun ini juga meliputi kecakapan memilah-milah benda-benda yang tergabung dalam sebuah benda yang berkelas tinggi menjadi benda-benda yang berkelas rendah, misalnya dari bunga menjadi mawar, melati, dan seterusnya. Multiplication of classes (pelipatgandaan golongan benda) yakni kemampuan yang melibatkan pengetahuan mengenai cara mempertahankan dimensi-dimensi benda (seperti warna bunga dan tipe bunga) untuk membentuk gabungan golongan benda (seperti mawar merah, mawar putih dan seterusnya). Selain itu, kemampaun ini juga meliputi kemampuan memahami cara sebaliknya, yakni cara memisahkan gabungan golongan benda menjadi dimensi-dimensi tersendiri, misalnya: warna bunga mawar terdiri atas merah, putih, dan kuning. Berdasarkan hasil-hasil eksperimen dan observasinya, Piaget menyimpulkan bahwa pemahaman terhadap apek kuantitatif materi, pemahaman terhadap penamabahan golongan benda, dan pemahaman terhadap pelipatgandaan golongan benda merupakan ciri khas perkembangan kognitif anak berusia 7-11 tahun. Perolehan pemahaman tersebut diiringi dengan banyak berkurangnya egosentrisme anak. Artinya anak sudah mulai memiliki kemampuan mengkoordinasikan pandangan-pandangan orang lain dengan pandangannya sendiri, dan memiliki persepsi positif bahwa pandangannya hanyalah salah satu sekian banyak pandangan orang. Jadi, pada dasarnya perkembangan kognitif anak tersebut ditinjau dari sudut karakteristiknya sudah sama dengan kemampuan kognitif orang dewasa. Namun demikian, masih ada keterbatasan-keterbatasan kapasitas anak dalam mengkoordinasikan pemikirannya. Anak-anak dalam rentang usia 7-11 tahun baru mampu berpikir sistematis mengenai benda-benda dan peristiwa-peristiwa yang konkret. Inilah yang menjadi alasan perkembangan kognitif anak yang berusia 7-11 tahun tersebut dinamakan tahap konkret operasional. Tahap Formal-operasional (11 – 15 tahun) Dalam tahap perkembangan formal-operasional, anak yang sudah menjelang atau sudah menginjak masa remaja, yakni usia 11-15 tahun akan dapat mengatasi masalah keterbatasan pemikiran konkret-operasional seperti yang telah penyusun singgung pada bagian “Perkembangan Psiko-fisik Siswa”. Tahap perkembangan kognitif terakhir yang menghapus keterbatasan-keterbatasan tersebut sesungguhnya tidak hanya berlaku bagi remaja hingga usia 15 tahun, tetapi juga bagi remaja dan bahkan orang dewasa yang berusia labih tua. Sebab, upaya riset Piaget yang mengambil subjek anak dan remaja hingga uisa 15 tahun itu dianggap sudah cukup representative bagi usia-usia selanjutnya. Dalam perkembangan kognitif tahap akhir ini seorang remaja telah memiliki kemampuan mengkoordinasikan baik secara serentak maupun berurutan dua ragam kemampuan kognitif, yakni: 1) kapasitas menggunakan hipotesisi; 2) kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak. Dengan kapasitas menggunakan hipotesis (anggapan dasar), seorang remaja akan mampu berpikir hipotesis, yakni berpikir mengenai suatu khususnya dalam hal pemecahan masalah dengan menggunakan anggapan dasar yang relevan dengan lingkungan yang ia respons. Sementara itu, dengan kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak, remaja tersebut akan mampu mempelajari materi-materi pelajaran yang abstrak seperti ilmu agama, ilmu matematika dan ilmu-ilmu abstrak lainnya dengan luas dan lebih mendalam. Dua macam kapasitas kognitif yang sangat berpengaruh terhadap kualitas skema kognitif itu tentu telah dimiliki pula oleh orang-orang dewasa. Oleh karenanya, seorang remaja pelajar yang telah berhasil menempuh proses perkembangan formal-operasional secara kognitif dapat dianggap telah mulai dewasa. Sebagai bukti bahwa seorang remaja pelajar telah memiliki kedewasaan berpikir, dapat dicontohkan ketika ia menggunakan pikiran hipotesisnya sewaktu mendengar pernyataan seorang kawannya, seperti “kemarin seorang penggali peninggalan purbakala menemukan kerangka manusia berkepala dua dan berkaki tiga yang telah berusia 10.00 tahun”. Apa yang salah dalam pernyataan tersebut? Remaja pelajar tadi, setelah berpikir sejenak, dengan serta merta berkomentar: “Omong kosong!” Ungkapan “omong kosong” ini merupakan hasil berpikir hipotesis remaja pelajar tersebut, karena mustahil ada manusia berkepala dua dan berkaki tiga betapapun tuanya umur kerangka yang ditemukan penggali benda purbakal itu. Selanjutnya, seorang remaja pelajar yang telah berhasil menjalani tahap perkembangan formal-operasional akan dapat memahami dan mengungkapkan prinsip-prinsp abstrak. Prinsip-prinsip tersembunyi ini, pada gilirannya akan dapat mengubah perhatian-perhatian sehari-hari secara dramatis dengan pola yang terkadang sama sekali berbeda dari pola-pola perhatian sebelumnya. Dia mungkin menjadi asyik dengan konsep-konsep abstrak tertentu; seperti etika ideal, keserasian, keadilan, kemurnian, dan masa depan. Suatu saat remaja pelajar tersebut akan menuliskan masa depannya dengan prinsip-prinsip abstrak, seperti “aku tahu bahwa aku sedang memikirkan masa depanku sendiri, lalu aku mulai berpikir tentang alasan aku memikirkan masa depanku”. Sebagai pelengkap uraian ini, perlu penyusun utarakan dua hal penting mengenai inteligensi dalam hubungannya dengan proses perkembangan kognitif seperti yang telah berulang-ulang penyusun singgung di muka. Pertama, seyogianya para guru dan orang tua juga para calon guru mengetahui bahwa inteligensi (kecerdasan) itu melibatkan interaksi aktif antara siswa dengan dunia di sekitarnya. Ungkapan teoretis seperti ini secara implisit menampik pandangan orang-orang yang menafikan fungsi dan pengaruh lingkungan (khususnya lingkungan kependidikan) terhadap proses perkembangan inteligensi siswa. Oleh karenanya, lingkungan siswa seperti rumah tinggal dan sekolah seyogianya ditata sebaik-baiknya agar memberi efek positif terhadap perkembangan inteligensi siswa tersebut. Kedua, tahapan-tahapan perkembangan kognitif anak yang telah dikemukakan Piaget di atas merupakan jalan umum yang ditempuh oleh perkembangan inteligensi anak tersebut. Oleh karenanya, deskripsi (uraian gambaran) mengenai setiap tahapan perkembangan kognitif tersebut hanya menjadi petunjuk mengenai kemampuan umum yang lazimnya dimiliki bayi, anak, dan remaja dalam periode perkembangannya masing-masing. Penting bagi Anda khususnya para calon guru dan guru professional menghindari persepsi yang naïf bahwa teori perkembangan di atas pasti berlaku sepenuhnya terhadap diri para siswa. Kedua tahapan-tahapan perkembangan kognitif versi Piaget itu pada asasnya, menurut hemat penyusun, hanya merupakan outline (garis besar) yang berhubungan dengan kapasitas-kapasitas kognitif tertentu yang berkembang dalam diri siswa dari masa ke masa. Namun demikian, sekadar untuk tujuan-tujuan praktis memang kecakapan kognitif yang dimiliki siswa sekurang-kurangnya dapat menjadi petunjuk bahwa siswa tersebut sedang berada pada tahap perkembangan tertentu, seperti tahap konkret-operasonal atau tahap formal-operasinal. Hal lain yang juga patut penyusun kemukakan ialah bahwa teori perkembangan kognitif hasil temuan riset sang jenius Piaget itu, betapapun lugas dan ilmiahnya, tetap tidak bebas kritik. 3. Perkemabangan Sosial dan Moral Siswa Pendidikan, ditinjau dari sudut psikososial (kejiwaan kemasyarakatan), adalah upaya penumbuhkembangan sumber daya manusia melalui proses hubungan interpersonal (hubungan antarpribadi) yang berlangsung dalam lingkungan masyarakat yang terorganisasi, dalam hal ini masyarakat pendidikan dan keluarga. Sedangkan dalam merespons pelajaran di kelas misalnya, siswa bergantung pada persepsinya terhadap guru pengajar dan teman-teman sekelasnya. Positif atau negatifnya persepsi siswa terhadap guru dan teman-temannya itu sangat mempengaruhi kualitas hubungan sosial para siswa dengan lingkungan sosial kelasnya dan bahkan mungkin dengan lingkungan sekolahnya. Selanjutnya pendidikan baik yang berlangsung secara formal di sekolah maupun yang berlangsung secara informal di lingkungan keluarga memiliki peranan penting dalam mengembangkan psikososial siswa. Perkembangan psikososial siswa, atau sebut perkembangan sosial siswa, adalah proses perkembangan kepribadian siswa selaku seorang anggota masyarakat dalam berhubungan dengan orang lain. Perkembangan ini berlangsung sejak masa bayi hingga akhir hayatnya. Perkembangan sosial, menurut Bruno (1987), merupakan proses pembentukan social self (pribadi dalam masyarakat), yakni pribadi dalam keluarga, budaya bangsa, dan seterusnya. Seperti dalam proses-proses perkembangan lainnya, proses perkembangan sosial dan moral siswa juga selalu berkaitan dengan proses belajar. Konsekuensinya, kualitas hasil perkembangan sosial siswa sangat bergantung pada kualitas proses belajar (khususnya belajar sosial) siswa tersebut, baik di lingkungan sekolah dan keluarga maupun di lingkungan yang lebih luas. Ini bermakna bahwa proses belajar itu amat menentukan kemampuan siswa dalam bersikap dan berperilaku sosial yang selaras dengan norma moral agama, moral tradisi, moral hukum, dan norma moral lainnya yang berlaku dalam masyarakat siswa yang bersangkutan. Dalam dunia psikologi terdapat pendidikan terdapat aneka ragam mazhab (aliran pemikiran) yang berhubungan dengan perkembangan sosial. Di antara ragam mazhab, perkembangan sosial ini yang paling menonjol dan layak dijadikan rujukan ialah: 1) aliran teori cognitive psychology dengan tokoh utama Jean Piaget dan Lawrence Kohlberg; 2) aliran teori social learning dengan tokoh utama Albert Bandura dan R.H. Walters. Tokoh-tokoh psikologi tersebut telah banyak melakukan penelitian dan pengkajian perkembangan sosial anak-anak usia sekolah dasar dan menengah dengan penekanan khusus pada perkembangan moralitas mereka. Maksudnya, setiap tahapan perkembangan sosial anak selalu dihubungkan dengan perkembangan perilaku moral, yakni perilaku baik dan buruk menurut norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Perkembangan Moral versi Piaget dan Kohlberg Pendekatan terhadap perkembangan sosial/moral anak dalam aliran psikologi kognitif lebih banyak dilakukan Kohlberg daripada oleh Piaget sendiri selaku tokoh utama psikologi ini. Namun, Kohlberg mendasarkan teori perkembangan sosial dan moralnya pada prinsip-prinsip dasar hasil temuan Piaget, terutama yang berkaitan dengan prinsip perkembangan moral. Perkembangan sosial hampir dapat dipastikan juga perkembangan moral, sebab perilaku moral pada umumya merupakan unsur fundamental dalam bertingkah laku sosial. Seorang siswa hanya akan mampu berperilaku sosial dalam situasi sosial tertetnu secara memadai apabila menguasai pemikiran norma perilaku moral yang diperlukan untuk situasi sosial tersebut. Piaget dan Kohlberg menekankan bahwa pemikiran moral seorang anak, terutama ditentukan oleh kematangan kapasitas kognitifnya. Sedangkan di sisi lain, lingkungan sosial merupakan pemasok materi mentah yang akan diolah oleh ranah kognitif anak secara aktif. Dalam interaksi sosial dengan teman-teman sepermainan sebagai contoh, terdapat dorongan sosial yang menantang anak tersebut untuk mengubah orientasi moralnya. Pada tahap perkembangan kognitif yang memungkinkan sikap dan perilaku egosentrisme seorang anak berkurang, lazimnya pertimbangan moral (moral reasoning) anak tersebtu menjadi lebih matang. Sebaliknya, anak-anak yang masih diliputi sikap dan perilaku mementingkan diri sendiri itu hanya akan mampu memahami kaidah sosial yang hanya menyadari kesalahan sosialnya dan sekaligus berperilaku moral secara memadai, pengenalan mereka terhadap wewenang orang dewasa dan penerimaan mereka terhadap aturannya perlu ditanamkan. Ada dua macam studi yang dilakukan Piaget mengenai perkembangan moral anak dan remaja, yakni: 1. Melakukan observasi terhadap sejumlah anak yang bermain kelereng dan menanyai mereka tentang aturan yang mereka ikuti; 2. Melakukan tes dengan menggunakan beberapa kisah yang menceritakan perbuatan salah dan benar yang dilakukan anak-anak, lalu meminta responden (yang terdiri atas anak dan remaja) untuk menilai kisah-kisah tersebut berdasarkan pertimbangan moral mereka sendiri. Berdasarkan data hasil studi di atas. Piaget menemukan dua tahap perkembangan moral anak dan remaja yang antara tahap pertama dan kedua diselingi dengan masa transisi, yakni pada usia 7-10 tahun. Tahap-tahap perkembangan moral versi Piaget selalu dikaitkan dengan tahap-tahap perkembangan kognitif. Tahap perkembangan moral yang pertama, misalnya, bersamaan rentang waktunya dengan tahap perkembangan kognitif pra-operasional. Tahap perkembangan yang berlangsung antara usia 4-7 tahun itu merupakan tahap realisme moral, artinya anak-anak menganggap moral sebagai suatu kenyataan yang ada dalam kehidupan sosial. Tahap kedua, perkembangan moral yang bertepatan dengan tahap perkembangan kognitif formal operasional itu menunjukkan bahwa manusia pada awal masa “yuwana” dan “pascayuma”, yaitu masa remaja awal dan masa setelah remaja sudah memiliki persepsi yang jauh lebih maju daripada sebelumnya. Para yuwana dan pascayuwana memandang moral sebagai sebuah perpaduan yang terdiri atas otonomi moral (sebagai hak pribadi), realisme moral (sebagai kesepakatan sosial), dan resiprositas moral (sebagai aturan timbal balik). Adapun tahap-tahap perkembangan kognitif tadi dapat Anda temukan dalam uraian di muka. Selanjutnya, pengikut Piaget, Lawrence Kohlberg menemukan tiga tingkat pertimbangan moral yang dilalui manusia prayuwana, yuwana, dan pascayuwana. Setiap tingkat perkembangan terdiri atas dua tahap perkembangan, sehingga secara keseluruhan perkembangan moral manusia itu terjadi dalam enam tahap. Alhasil, menurut Kohlberg perkembangan sosial dan moral manusia itu terjadi dalam tiga tingkatan besar yang meliputi: 1. tingkat moralitas prakonvensional, yaitu ketika manusia berada dalam fase prayuwana (usia 4-10 tahun) yang belum menganggap moral sebagai kesepakatan tradisi sosial; 2. tingkat moralitas konvensional, yaitu ketika manusia menjelang dan memasuki fase perkembangan yuwan (usia 10-13 tahun) yang sudah menganggap moral sebagai kesepakatan tradisi sosial; 3. tingkat moralitas pascakonvensional, yaitu ketika manusia telah memasuki fase perkembangan yuwana dan pascayuwana (usia 13 tahun ke atas) yang memandang moral lebih dari sekedar kesepakatan tradisi sosial. Perkembangan Sosial dan Moral Menurut Teori Belajar Sosial Teori belajar sosial adalah sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Salah seorang tokoh utama teori utama teori ini adalah Albert Bandura, seorang psikolog pada Universitas Stamford Amerika Serikat, yang oleh banyak ahli dianggap sebagai seorang behavioris masa kini yang moderat. Tidak seperti rekan-rekannya sesama penganut aliran behaviorisme, Bandura memandang tingkah laku manusia bukan semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul akibat interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif manusia itu sendiri. Prinsip dasar belajar hasil temuan Bandura termasuk belajar sosial dan moral. Menurut Barlow (1985), sebagian besar upaya belajar terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Dalam hal ini, seorang siswa belajar mengubah perilakunya sendiri melalui penyaksian cara orang atau sekelompok orang mereaksi atau merespons sebuah stimulus tertentu. Siswa ini juga dapat mempelajari respons-respons baru dengan cara pengamatan terhadap perilaku contoh dari orang lain, misalnya guru atau orangtuanya. Pendekatan teori belajar sosial terhadap proses perkembangan sosial dan moral siswa ditekankan pada perlunya conditioning (pembiasaan merespons) dan imitation (peniruan). Penjelasan lebih lanjut mengenai prosedur-prosedur belajar sosial dan moral tersebut adalah sebagai berikut. Conditioning. Menurut prinsip-prinsip kondisioning, prosedur belajar dalam mengembangkan perilaku sosial dan moral pada dasarnya sama dengan prosedur belajar dalam mengembangkan perilaku-perilaku lainnya, yakni dengan “reward” (ganjaran/memberi hadiah atau mengganjar) dan punishment (hukum/memberi hukuman). Dasar pemikirannya ialah sekali seorang siswa mempelajari perbedaan antara perilaku yang mengakibatkan hukuman, ia senantiasa berpikir dan memutuskan perilaku sosial tertetnu yang perlu ia perbuat. Sehubungan dengan hal di atas, komentar-komentar yang disampaikan orangtua atau guru ketika mengganjar/menghukum siswa merupakan faktor yang penting untuk proses internalisasi atau penghayatan siswa tersebut terhadap moral standards (patokan-patokan moral). Orangtua dan guru dalam hal ini sangat diharapkan memberi penjelasan agar siswa tersebut benar-benar paham mengenai jenis perilaku yang menghasilkan ganjaran dan jenis perilaku yang menghasilkan ganjaran dan jenis perilaku yang menimbulkan sanksi. Reaksi-reaksi seorang siswa terhadap stimulus yang ia pelajari adalah hasil dari adanya pembiasaan merespons sesuai dengan kebutuhan. Melalui proses pembiasaan merespons (conditioning) ini, juga ia menemukan pemahaman bahwa ia dapat menghindari hukuman dengan memohon maaf yang sebaik-baiknya agar kelak terhidar dari sanksi. Imitation. Prosedur lain yang juga penting dan menjadi bagian yang integral dengan prosedur-prosedur belajar menurut teori social learning, ialah proses imitasi atau peniruan. Dalam hal ini, orangtua dan guru seyogianya memainkan peran penting sebagai seorang model atau tokoh yang dijadikan contoh berperilaku sosial dan moral bagi siswa. Sebagai contoh, mula-mula seorang siswa mengamati model gurunya sendiri yang sedang melakukan sebuah perilaku sosial, umpamanya menerima seorang tamu. Lalu, perbuatan menjawab salam, berjabat tangan, beramah tamah, dan seterusnya yang dilakukan model itu diserap oleh memori siswa tersebut. Diharapkan, cepat atau lambat siswa tersebut mampu meniru sebaik-baiknya perbuatan sosial yang dicontohkan oleh modelnya itu. Kualitas kemampuan siswa dalam melakukan perilaku sosial hasil pengamatan terhadap model tersebut, antara lain bergantung pada ketajaman persepsinya mengenai ganjaran dan hukuman yang berkaitan dengan benar dan salahnya perilaku yang ia tiru dari model tadi. Selain itu, tingkat kualitas imitasi tersebut juga bergantung pada persepsi siswa terhadap “siapa” yang menjadi model. Maksudnya, semakin piawai dan berwibawa seorang model, semakin tinggi pula kualitas imitasi perilaku sosial dan moral siswa tersebut. Sumber : Buku Psikologi Pendidikan, Muhibbin Syah. Dakhlan Ainun Nasir at 18.34 Berbagi Tidak ada komentar: Poskan Komentar ‹ › Beranda Lihat versi web Mengenai Saya Dakhlan Ainun Nasir Lihat profil lengkapku Diberdayakan oleh Blogger.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar